Oleh ust. Rokhmat S. Labib
Negara demokrasi-sekular sering didengungkan sebagai negara ideal. Pasalnya, yang menjadi bandingannya adalah negara yang cenderung otoriter bahkan totaliter. Dihadapkan dengan pilihan-pilahan tersebut, tidak aneh jika negara demokrasi menjadi alternatif.
Umat Islam tidak jarang juga terjebak dengan alternatif-alternatif tersebut; seolah sistem pemerintahan hanya itu. Padahal masih ada sistem pemerintahan lain, yang tidak masuk dalam katagorisasi semua sistem pemerintahan tersebut. Sistem pemerintah itu adalah sistem Khilafah. Sistem Khilafah bertolak belakang dengan demokrasi, namun juga bertentangan dengan sistem monarki, teokrasi, atau aristokrasi; bahkan dengan semua sistem pemerintahan yang pernah ada di dunia.
Agar tidak dianggap sebagai klaim tanpa dasar, tulisan berikut akan mengungkap perbedaan sejumlah konsepsi seputar sistem pemerintahan demokrasi sekular dengan sistem pemerintahan Khilafah.
Konsep Kedaulatan
Masalah krusial dalam setiap sistem pemerintahan adalah menyangkut konsep kedaulatan (
sovereignty/as-siyâdah).Kedaulatan adalah kewenangan untuk menangani dan menjalankan suatu kehendak tertentu. Dengan ungkapan lain, kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dan mutlak; satu-satunya yang memiliki hak untuk mengeluarkan hukum.
[i] Karena itu, konsep kedaulatan akan menentukan corak masyarakat, arah kebijakan negara, dan semua subsistem yang menjadi turunannya—seperti sistem hukum, peradilan, ekonomi, dan sebagainya.
Dalam negara demokrasi-sekular, kedaulatan berada di tangan rakyat. Konsekuensinya, rakyatlah yang memiliki hak menentukan perjalanan hidup masyarakat. Rakyat pula yang menentukan sistem, hukum, dan kosntitusi yang cocok bagi mereka. Sebagaimana rakyat berhak membuat dan menetapan sebuah undang-undang, rakyat juga berhak membatalkan, mengganti, atau mengubah undang-undang tersebut.
Karena rakyat merupakan sekumpulan orang, sementara keinginan dan kehendak mereka bisa berseberangan satu sama lainnya, maka yang dijadikan sebagai kata pemutus adalah kehendak mayoritas. Ide, aspirasi, atau kebijakan apa pun yang mendapatkan dukungan suara terbanyak harus diterima sebagai keputusan terakhir yang ditaati oleh semua pihak; tidak peduli apakah keputusan tersebut benar atau salah, sejalan atau bertabrakan dengan hukum Allah Swt.
Berkaitan dengan suara mayoritas ini, Henry B. Mayo menyatakan bahwa sistem politik yang demokratis adalah sebuah sistem yang kebijaksanaan umumnya ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat.
[ii] Lyman Tower Sargent juga menegaskan bahwa kunci yang harus dipenuhi oleh negara demokrasi adalah sistem hukum yang ditentukan oleh mayoritas.
[iii]
Konsepsi tentang kedaulatan ini jelas kontradiktif dengan sistem Khilafah. Sistem Khilafah menjadikan kedaulatan ada di tangan Allah (syariat). Hal ini didasarkan pada syariat Islam yang hanya mengakui Allah Swt. satu-satunya Pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-Hâkim) dan syariat (al-Musyarri‘) baik dalam semua perkara ibadah. Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt.
Konsep kedaulatan di tangan syariat disimpulkan dari banyak dalil. Di antaranya: dalil-dalil yang mewajibkan kaum Muslim untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara mutlak (QS an-Nisa’ [4]: 59, 65, 105, 115; al-Baqarah [2]: 20); mengembalikan semua persoalan hukum pada syariat (QS asy-Syura [42]: 10; an-Nisa’ [4]: 59); mengecam semua hukum selain hukum Allah dengan sebutan hukumthâghût dan hukum Jahiliah (QS an-Nisa’ [4]: 60; al-Maidah [5]: 50); menyebut orang-orang yang berhukum pada selain hukum Allah sebagai kafir, zalim, dan fasik (QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47).
Kaidah ushul
Lâ hâkima siwa Allâh, wa lâ hukma illâ ma hâkama bih(Tidak ada Pembuat hukum selain Allah dan tidak ada hukum selain yang Dia tetapkan) adalah kaidah yang tidak dipertentangkan oleh umat Islam
.[iv] Allah Swt. berfirman:
]إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ[
Menetapkan hukum hanya hak Allah. (QS Yusuf [12]: 40).
Berdasarkan prinsip tersebut maka semua perundang-undangan di negara Khilafah harus bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah serta Ijma Sahabat dan Qiyas. Suara mayoritas—yang dalam negara sekular-demokrasi memegang peranan menentukan—dalam sistem Khilafah digunakan dalam medan yang amat terbatas, yakni hanya dalam melaksanakan suatu amal yang dibenarkan oleh syariat dan tidak membutuhkan keahlian khusus. Sebaliknya, penetapan hukum dan perundangan sama sekali tidak memperhatikan suara terbanyak. Seandainya seluruh rakyat berkumpul dan secara aklamasi menyetujui digalakkannya riba, atau bersepakat melegalisasi lokalisasi perzinaan dengan dalih agar perzinaan tidak menyebar luas di tengah masyarakat, maka semua kesepakatan itu tidak ada nilainya sama sekali di hadapan syariat.
Konsep Kekuasaan
Kekuasaan dalam sistem pemerintahan demokrasi-sekular terbagi menjadi tiga institusi yang memiliki kewenangan berbeda-beda, yakni: kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat undang-undang); kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk menjalankan undang-undang); dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang). Konsep pembagian kekuasaan ini dikenal dengan trias politica. Pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan oleh seseorang atau lembaga tertentu sehingga kedaulatan rakyat dapat terjaga.
Dalam sistem Khilafah kekuasaan ada di tangan umat. Seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan melalui baiat.
[v] Kesimpulan ini didasarkan pada hadis-hadis tentang baiat yang semuanya menunjukkan bahwa baiat itu diberikan oleh kaum Muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum Muslim. Ini menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Artinya, umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi khalifah.
Selanjutnya, dengan akad baiat, kekuasaan yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan wakil umat untuk menjalankan hukum syariat Islam (kedaulatan Allah) dalam kehidupan bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana dalam sistem demokrasi-sekular.
Meskipun syariat telah menetapkan bahwa kekuasaan di tangan umat, dalam memilih khalifah umat tetap harus mematuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan syariat; semisal harus berakal, balig, Muslim, laki-laki, adil, merdeka, dan berkemampuan. Lagi pula, sekalipun syariat memberikan hak bagi umat memilih dan mengangkat khalifah, umat tidak berhak memberhentikannya selama akad baiat kepadanya dilaksanakan secara sempurna berdasarkan ketentuan syariat.
Ketentuan ini didasarkan beberapa hadis sahih yang mewajibkan ketaatan kepada khalifah selama ia tidak memerintahkan kemaksiatan dan tidak jelas-jalas kafir. Ibn Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda bersabda:
»مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئَا فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ اْلجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوْتُ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً«
Siapa saja yang melihat sesuatu dari amirnya dan ia membencinya, hendaknya bersabar. Sebab, tidak seorang pun yang meninggalkan jamaah sejengkal saja kemudian mati, kecuali mati dalam keadaan Jahiliah. (HR al-Bukhari).
Kendati demikian, bukan berarti khalifah tidak dapat diberhentikan apa pun keadaannya. Syariat telah menjelaskan keadaan-keadaan tertentu yang memungkinkan khalifah dinyatakan berhenti secara otomatis seperti ketika murtad, gila total, atau ditawan musuh yang tidak mungkin bisa melepaskan diri. Dijelaskan pula keadaan-keadaan tertentu yang memungkinkan khalifah harus diberhentikan oleh mahkamah mazhâlim, seperti ketika ia tidak dapat melaksanakan tugasnya karena suatu sebab, atau kehilangan‘adalah-nya, yaitu telah melakukan kefasikan secara terang-terangan.
Bentuk Negara
Bentuk negara demokrasi-sekular dapat beraneka ragam; dapat berbentuk kesatuan, seperti Inggris dan Prancis, atau federasi seperti Amerika Serikat dan Malaysia. Dalam negara federasi terdapat negara-negara bagian yang memiliki otonomi sendiri dan bersatu dalam pemerintahan secara umum, semisal dalam hal perjanjian internasional, moneter, pertahanan dan keamanan, dan lain-lain.
Ini berbeda dengan Khilafah yang harus berbentuk kesatuan. Islam tidak membenarkan adanya negara-negara bagian yang memiliki kedaulatan sendiri dalam bidang-bidang tertentu. Sistem pemerintahan Khilafah harus bersifat sentralisasi dengan penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah kecil maupun besar. Ketentuan ini didasarkan beberapa hadis Nabi saw. Di antaranya hadis dari Arfajah bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ»
Siapa saja yang datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang (Khalifah), kemudian dia hendak memecah-belah kesatuan jamaah kalian, maka bunuhlah. (HR Muslim).
Hadis di atas menjelaskan larangan membelah persatuan kaum Muslim dan membagi-bagi kesatuan negaranya, serta mendorong kepada kaum Muslim agar tidak mentoleransi setiap upaya pembagian negara, termasuk upaya melepaskan diri darinya.
Kesatuan negara Khilafah juga mewujud dalam hal keuangan dan anggaran. Keuangan seluruh wilayah negara Islam dianggap satu, termasuk anggaran belanjanya. Anggaran belanja setiap wilayah akan diberikan sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan atas besar-kecilnya pendapatan yang dihasilkannya. Perlu diingat, meskipun dalam soal pemerintahan harus sentralisasi, namun sistem administrasinya dapat dilakukan desentralisasi.
Bentuk Pemerintahan
Sistem pemerintahan negara demokrasi-sekular dapat berbentuk republik dengan kepala negara seorang presiden seperti AS atau monarki dengan kepala negara seorang raja seperti Inggris atau kaisar seperti di Jepang.
Ini juga berbeda dengan bentuk pemerintahan Islam yang hanya mengenal satu bentuk, yakni Khilafah. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Sebutan lain dari Khilafah adalah Imamah.
Dalam pemerintahan monarki, kedudukan raja diperoleh melalui jalan pewarisan. Artinya, seseorang dapat menduduki jabatan raja hanya karena kebetulan menjadi anak keturunan raja. Mekanisme kekuasaan itu bertentangan dengan sistem Khilafah. Kedudukan khalifah hanya didapatkan dengan satu jalan, yakni dengan baiat dari umat secara ridha dan diliputi kebebasan memilih, tanpa ada tekanan atau paksaan.
Jika dalam sistem monarki raja memiliki hak-hak istimewa yang dikhususkan untuk raja dan tidak bisa dimiliki selain raja, bahkan dalam beberapa negara kedudukan raja di atas undang-undang, tidak demikian dengan khalifah. Sistem Khilafah tidak memberikan hak-hak istimewa bagi khalifah, kecuali sama dengan rakyatnya. Khalifah adalah wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan yang mereka baiat buat menerapkan syariat Allah atas diri mereka. Artinya, khalifah juga tetap harus tunduk dan terikat dengan hukum syariat dalam semua tindakan, kebijakan, dan pelayanan terhadap kepentingan umat.
Sistem Khilafah juga berbeda dengan republik. Dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili suara rakyat (misal: parlemen). Rakyat beserta wakilnya berhak memberhentikan presiden. Sebaliknya, seorang khalifah, sekalipun bertanggung jawab di hadapan umat dan wakil-wakil mereka, mereka tidak berhak memberhentikannya. Khalifah hanya dapat diberhentikan jika ia menyimpang dari hukum syariat yang menyebabkannya harus diberhentikan. Ada pun yang menentukan pemberhentiannya adalah mahkamah mazhâlim.
Jabatan pemerintahan (presiden atau perdana menetri) dalam sistem republik, baik yang menganut presidensial maupun parlementer, selalu dibatasi dengan masa periode tertentu yang tidak boleh melebihi dari masa jabatan tersebut. Sebaliknya, dalam sistem Khilafah tidak terdapat masa jabatan tertentu. Batasannya hanyalah apakah ia masih menerapkan hukum syariat ataukah tidak. Selama ia masih melaksanakan hukum syariat yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta mampu menjalankan urusan-urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka dia tetap sah menjadi khalifah, sekalipun masa jabatannya amat panjang. Demikian pula sebaliknya. Ketetapan ini didasarkan pada nash baiat yang ada dalam hadis-hadis, yang semuanya bersifat mutlak, tidak ada batasan masa jabatan tertentu. Di antaranya adalah riwayat Anas bin Malik yang menyatakan bahw Nabi saw. pernah bersabda:
«اِسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا وَإِنْ اُسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبْشِيٌ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةً»
Dengar dan taatilah, sekalipun yang memimpin kalian budak yang hitam legam, bahkan kepalanya seperti (keluar) bisul-bisulnya. (HR al-Bukhari).
Dalam riwayat Muslim dari jalur Ummu al-Husain ada ungkapan:
» يَقُوْدُكُمْ بِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى«
….selama dia masih memimpin kalian dengan Kitabullah. (HR Muslim).
Di samping itu, Khulafaur Rasyidin masing-masing telah dibaiat sebagaimana baiat yang terdapat dalam banyak hadis. Mereka tidak ada yang dibatasi dengan masa jabatan tertentu. Mereka masing-masing memimpin Khilafah sejak dibaiat hingga meninggal. Hal ini menjadi Ijma Sahabat, bahwa jabatan khalifah tidak mengenal masa jabatan tertentu.
Namun demikian, bukan berarti seorang khalifah pasti terus menjabatnya hingga dia meninggal. Sebab, ada ketetapan syariat berkenaan beberapa keadaan khalifah yang menjadikannya dinyatakan berhenti secara otomatis dari jabatannya, atau harus diberhentikan oleh mahkamah madzalim.
Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam negara demokrasi-sekular bersifat kolektif. Sistem pemerintahannya, baik parlementer maupun presidensial, mengharuskan adanya kabinet yang di dalamnya terdapat menteri-menteri dengan spesialisasi departemen-departemen masing-masing dan wewenang tertentu. Kolektivitas kepemimpinan tampak lebih menonjol dalam sistem parlementer; roda pemerintahan dijalankan oleh kabinet yang dikepalai seorang perdana menteri. Kabinet secara kolektif itu bertanggung jawab terhadap parlemen. Jika parlemen menjatuhkan mosi tidak percaya, kabinet tersebut harus bubar.
Dalam Islam, kepemimpinan bersifat tunggal, tidak bersifat kolektif. Tunggalnya kepemimpinan tersebut didasarkan pada hadis-hadis Nabi saw. Di antaranya hadis berikut:
«إِذَا بُيِعَ لِخَالِفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخِرَ مِنْهُمَا»
Jika dibaiaat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR Muslim).
Prinsip tunggalnya kepemimpinan juga diterapkan dalam kepemimpinan negara. Di dalam sistem khilafah tidak ada menteri maupun kabinet yang menyertai khalifah sebagaimana dalam konsep demokrasi. Yang ada di dalam sistem khilafah hanyalah para mu‘âwin(pembantu khalifah). Tugas mereka adalah membantu khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan. Mereka adalah pembantu sekaligus pelaksana. Ketika memimpin mereka, peran khalifah bukan dalam kapasistasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga eksekutif, melainkan sebagai kepala negara. Dalam sistem khilafah tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu khalifah dengan wewenang tertentu.
Pilar Pemerintahan
Dalam negara demokrasi-sekular, kedaulatan ada di tangan rakyat yang terepresentasi di tangan wakil rakyat. Demikian juga dengan kekuasaan. Rakyat merupakan sumber kekuasaan. Akan tetapi, pada praktiknya keadaulatan dan kekuasaan itu tidak benar-benar berada di tangan rakyat, namun di tangan para kapitalis/pemilik modal raksasa, terutama di bidang industri dan media massa. Di Amerika, para kapitalis inilah yang sebenarnya secara real mengangkat dan memberhentikan orang-orang yang menempati lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Siapa saja yang berseberangan dengan para kapitalis akan tergusur dari kekuasaannya. Yang lebih tragis nasib negara-negara Dunia Ketiga. Kedaulatan rakyat di negara-negara tersebut justru telah terampas oleh dominasi negara-negara asing.
Secara praktis, kekuasaan itu dijalankan oleh tiga institusi: yakni legislatif (parlemen), eksekutif (presiden dan kabinetnya), dan yudikatif (lembaga peradilan). Di berbagai negara, yang biasanya dipilih langsung oleh rakyat adalah legislatif dan eksekutif (presiden). Adapun hukum dan undang-undangnya dibuat dan ditetapkan lembaga legislatif. Di beberapa negara, seperti Indonesia, sebuah undang-undang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif.
Pilar pemerintahan itu jelas sangat berbeda dengan sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah dibedakan antara kedaulatan dan kekuasaan. Kedaulatan ada di tangan syariat sehingga tidak boleh ada satu hukum atau undang-undang yang tidak bersumber dari Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya, sementara kekuasaan ada di tangan umat. Artinya, umatlah yang berhak memilih dan mengangkat orang yang dikehendaki untuk menduduki jabatan khalifah.
Mengenai hukum-hukum yang didasarkan dalil yang dzannî, sehingga dapat memunculkan beberapa penafsiran, sementara hukum tersebut diperlukan dalam pengaturan urusan rakyat, maka harus ada salah satu yang diadopsi (tabannî). Berdasarkan Ijma Sahabat, yang memiliki kewenangan untuk mengadopsi hukum syariat sebagai undang-undang hanya khalifah. Namun demikian, khalifah tidak boleh mengadopsi undang-undang yang bertentangan dengan syariat.
Peran Wakil Rakyat
Dalam negara sekular-demokrasi, wakil rakyat menjalankan kedaulatan rakyat. Lembaga perwakilan rakyat inilah yang menetapkan semua hukum dan peraturan dalam negara tersebut. Di beberapa negara, parlemen ini juga memiliki wewenang meminta pertanggungjawaban kepala negara dan memberhentikannya.
Itu sangat berbeda dengan wakil rakyat dalam sistem khilafah. Wakil rakyat yang terwadahi dalam majelis umat sama sekali tidak berfungsi sebagai lembaga legislatif. Dalam Islam, kekuasaan legislatif hanya milik Allah Swt. semata, bukan milik manusia. Kalau pun ada hak mengadopsi hukum-hukum yang berkaitan dengan pengaturan urusan rakyat dan pemerintahan, maka itu adalah bagi khalifah. Ini bukan berarti khalifah memegang kekuasaan legislatif. Sebab, khalifah tidak membuat hukum sendiri, namun hanya sekadar mengambil hukum-hukum syariat yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya berdasarkan kriteria dalil melalui proses ijtihad yang benar.
Dalam mengadopsi hukum syariat menjadi undang-undang, khalifah diperbolehkan mengajukannya kepada majelis umat untuk meminta pendapatnya mengenai masalah tersebut. Akan tetapi, pendapat majelis dalam masalah ini tidak mengikat. Tugas utama anggota majelis umat hanyalah mewakili aspirasi kaum Muslim agar menjadi pertimbangan khalifah dan tempat khalifah meminta masukan dalam urusan kaum Muslim. Mereka juga mewakili umat melakukanmuhâsabah (kontrol dan koreksi) terhadap pejabat pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas tampak jelas perbedaan sistem Khilafah dengan sistem pemerintahan demokrasi-sekular. Masihkah kita menganggap Islam sama dengan demokrasi? Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. []
1 Mahmud Abd al-Majid al-Khalidi,
Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm. Beirut: Dar al-Buhuts al-Ilimiyah, 1980, hlm. 24
2 Henry B. Mayo,
An Introduction to Democratic. New York: Oxford University Press, 1960, hlm, 70.
3 Lyman Tower Sargent,
Cotemporary Political Ideologis, hlm. 33
4 Al-Amidi,
al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, vol 1. Beirut: Dar al-Fikr, 1996, hlm. 60.
5 Berdasarkan nash-nash hadis, baiat
merupakan satu-satunya metode yang ditentukan oleh syariat dalam pengangkatan khalifah.