Senin, 25 Juni 2012

Politik Luar Negeri Negara Islam (Daulah Khilafah)


POLITIK LUAR NEGERI : Mengeluarkan Umat Manusia dari Kegelapan Sistem Kufur Menuju Cahaya Islam



Hubungan antar Negara Berdasarkan Syariah Islam

Tidak bisa disangkal, meski secara teoritis politik luar negeri Indonesia dilakukan dengan prinsip bebas dan aktif serta turut serta menciptakan perdamaian dunia, tapi selama beberapa dekade terakhir politik luar negeri Indonesia senantiasa tunduk kepada kepentingan Amerika Serikat. Semua itu dilakukan dengan mengorbankan kepentingan rakyat, khususnya umat Islam. Padahal, yang dipakai oleh pemerintah untuk melayani kepentingan AS adalah sumberdaya milik rakyat.
Daulah Khilafah akan mengakhiri politik luar negeri yang penuh nuansa kelemahan dan ketertundukan ini, diganti dengan pola baru dengan dasar Islam. Berdasarkan syariah Islam, Khilafah akan membangun hubungan dengan negara-negara lain baik di bidang ekonomi, politik, budaya atau pendidikan. Dalam seluruh urusan luar negeri, Khilafah akan memastikan bahwa dakwah Islam bisa disampaikan kepada seluruh umat manusia dengan cara yang terbaik. Adapun hubungan Daulah Khilafah dengan negara-negara lain akan dibangun dengan pola sebagai berikut:
a.   Hubungan dengan penguasa negeri-negeri MuslimNegeri Muslim adalah wilayah Islam yang dikuasai oleh penjajah pasca kehancuran Khilafah Utsmaniyah. Dalam pandangan Islam, menyatukan negeri-negeri Muslim dalam satu kepemimpinan merupakan sebuah kewajiban. Inilah mengapa Khilafah tidak menganggap hubungan dengan negeri-negeri Muslim tersebut sebagai bagian dari politik luar negeri. Khilafah akan melakukan berbagai upaya keras untuk menyatukan kembali negeri-negeri ini menjadi sebuah negara di bawah bendera Daulah Khilafah.  
b.   Hubungan dengan negara-negara Kafir
  • Pertama, negara yang menduduki wilayah Islam, atau negara yang terlibat secara aktif memerangi umat Islam seperti Amerika Serikat, Inggris, Israel, dan India. Hubungan dengan negara-negara ini ditetapkan berdasarkan kebijakan Harbi Fi’lan (perang riil). Tidak boleh ada hubungan diplomatik maupun ekonomi antara Khilafah dengan negara-negara musuh ini. Warga negara mereka tidak diizinkan memasuki wilayah Daulah Khilafah. Meski tengah terjadi gencatan senjata yang bersifat temporer, negara-negara itu tetap diperlakukan sebagai harbi fi’lan. Hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara tersebut tetap tidak dilakukan.
  • Kedua, negara-negara Kafir yang tidak menduduki wilayah Islam, atau tidak sedang memerangi umat Islam, akan tetapi mereka mempunyai niat menduduki wilayah Islam. Khilafah tidak menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara Kafir seperti ini. Tapi warga negara-negara tersebut diizinkan memasuki wilayah Daulah Khilafah dengan visa sekali jalan (single entry).
  • Ketiga, negara-negara Kafir selain kedua kategori di atas. Terhadap negara-negara seperti ini, Khilafah diizinkan membuat perjanjian. Sambil terus mengamati skenario politik internasional, Khilafah diperbolehkan menerima atau menolak perjanjian demi kepentingan dakwah Islam. Di samping itu, perjanjian diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara Kafir jenis ini harus dilakukan sesuai dengan syariah Islam. Daulah Khilafah yang menguasai sumberdaya minyak, gas dan aneka mineral yang melimpah serta memiliki kekuatan militer yang tangguh, kedudukan yang strategis di dunia, visi politik yang cemerlang, pemahaman tentang situasi politik internasional yang mendalam serta umat yang dinamis, akan mampu menghindari isolasi politik internasional dan terus berupaya meraih kedudukan sebagai negara terkemuka di dunia.
***


Khilafah Akan Menyebarkan Islam ke Seluruh Dunia dengan Dakwah dan Jihad 

Makna jihad adalah bersungguh-sungguh meninggikan Islam sebagai agama yang paling tinggi dengan jalan ikut serta dalam peperangan atau membantu pelaksanaan peperangan secara langsung, baik dengan harta maupun ucapan. Jihad merupakan metode praktis untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Saat ini, di tengah ketiadaan Daulah Khilafah dan jihad, Islam telah menyusut menjadi sekadar sekumpulan teori yang indah. Tapi teori indah ini tidak ditemukan implementasinya secara nyata di tengah kehidupan masyarakat. Bagi kalangan non-Muslim, dakwah Islam akan memberi mereka sebuah kesempatan untuk merasakan kehidupan di dalam sebuah masyarakat Islam, sehingga mereka bisa memahami bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan yang akan memberikan kebaikan atau rahmat juga kepada mereka. Maka, Islam wajib diterapkan oleh sebuah negara, kemudian disebarkan ke seluruh penjuru dunia dengan jihad. Inilah metode dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para Khulafa’ ur-Rasyidin sesudahnya. 
***


Tanggung Jawab Umat Islam untuk Membebaskan Umat Manusia dari Penindasan

Allah SWT mengutus Rasulullah Muhammad saw ke dunia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Maknanya, syariah Islam yang dibawa Rasulullah saw merupakan rahmat bagi seluruh umat manusia di dunia. Jadi, syariah Islam tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja, tapi juga non-Muslim. Adalah tanggung jawab umat Islam untuk membebaskan seluruh umat manusia dari penindasan akibat sistem, perundang-undangan dan tradisi sekuler menuju kerahmatan Islam.

Banyak contohnya. Bila kaum sudra, sebuah kasta paling rendah dalam masyarakat Hindu, dianggap lebih buruk daripada hewan, maka tentu saja sistem seperti ini tidak bisa ditoleransi lagi karena merendahkan martabat manusia sebagai makhluk Allah SWT. Contoh lain, penindasan yang dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional Amerika Serikat, yang mengeksploitasi harta dan darah warga negara AS untuk berperang dengan berbagai alasan, padahal yang sebenarnya adalah demi kepentingan bisnis mereka. Penindasan-penindasan semacam itu dilegalisasi dengan keputusan politik, regulasi, dan opini. Begitulah, ketika umat manusia diatur dengan sistem, perundang-undangan dan tradisi yang tidak berasal dari Allah SWT, maka penindasan demi penindasan terus terjadi. Allah SWT. berfirman:



إنا أنزلنا التوراة فيها هدى ونور يحكم بها النبيون الذين أسلموا للذين هادوا والربانيون والأحبار بما استحفظوا من كتاب الله وكانوا عليه شهداء فلا تخشوا الناس واخشون ولا تشتروا بآياتي ثمنا قليلا ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون


 

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.(Qs. al-Maaidah [5]: 44)

Khilafah tidak hanya akan membebaskan umat Islam tetapi juga seluruh umat manusia dari segala bentuk penindasan. Berbagai rintangan fisik yang menghalangi orang-orang yang tertindas itu dari rahmat Islam akan disingkirkan melalui kekuatan jihad.
 
***


Politik ”Minimum Deterrence” Bertentangan dengan Islam: Khilafah Akan Mengupayakan Kekuatan Militer Secara Penuh

Kebijakan militer Indonesia ditetapkan berdasarkan prinsip pertahanan defensif, dan karena itu berkembanglah wacana tentang politik “minimum deterrence”, yaitu kebijakan pengurangan kekuatan militer sampai pada tingkatan yang sekadar cukup untuk pertahanan. Politik “minimum deterrence” merupakan salah satu produk ideologi Kapitalisme yang tidak bisa dipisahkan dari ide negara bangsa. Ide tersebut memandang, bahwa tiap bangsa hendaknya tetap mempertahankan kedudukan mereka di dalam batas-batas teritorialnya, dan tidak berusaha memperluas wilayahnya dengan mencaplok wilayah negara lain atas nama slogan “hidup bersama dalam damai”. 
Negara-negara Barat mengatakan, bahwa konsep tersebut harus dijunjung tinggi untuk menjamin terwujudnya kerjasama dan keadilan antar bangsa-bangsa di dunia. Tetapi, faktanya menunjukkan bahwa Barat memanfaatkan ide tersebut untuk mempertahankan kedudukannya sebagai negara terkemuka dan melanggengkan hegemoninya atas negara-negara lain dalam pentas politik internasional. Maka, secara praktis mereka bisa terus mempertahankan pengaruhnya di dunia melalui superioritas kekuatan militernya. Jadi, konsep “minimum deterrence” hanya diperuntukkan bagi negara-negara lain, bukan Amerika Serikat. Mereka menipu dunia dengan menamakan kantor urusan militer dengan sebutan “Departemen Pertahanan” atau “Kementerian Pertahan-an”, meski realitasnya adalah “Departemen Perang” atau “Kementerian Perang”, di mana mereka mengembangkan kekuatan militer secara maksimal untuk terus menyerang, menindas, dan menjajah negara lain. Apa yang kini terjadi di Irak dan Afghanistan adalah bukti nyata.

Karena itu, Khilafah tidak akan mengadopsi politik “minimum deterrence” karena bertentangan dengan firman Allah SWT:



وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة ومن رباط الخيل ترهبون به عدو الله وعدوكم وآخرين من دونهم لا تعلمونهم الله يعلمهم وما تنفقوا من شيء في سبيل الله يوف إليكم وأنتم لا تظلمون




Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” (Qs. al-Anfaal [8]: 60) 
Ayat ini memerintahkan kepada umat Islam untuk mewujudkan kekuatan militer yang tangguh dan menggunakannya secara penuh dalam berbagai kesempatan, yang tidak hanya membuat umat Islam mampu menghadapi negara-negara adidaya, tetapi juga mampu menjadi negara adidaya di dunia. 
***


Khilafah Tidak Akan Menandatangani Perjanjian CTBT, NPT, dan Perjanjian Lain yang Semisal

Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT),  Non-Preliferation Treaty (NPT), dan perjanjian-perjanjian yang sejenis sesungguhnya sengaja disiapkan oleh negara-negara kolonialis untuk membatasi kekuatan (militer) negara-negara lain, termasuk Indonesia. Negara-negara besar yang memiliki teknologi senjata nuklir tidak menghendaki adanya negara-negara lain yang berpotensi menantang dominasi mereka. Khilafah tidak akan tunduk pada perjanjian-perjanjian seperti itu. Khilafah akan mengambil kebijakan untuk terus mengembangkan kekuatan militer secara penuh agar dapat memenuhi kewajiban jihad dengan sebaik-baiknya.  
***


Khilafah Akan Membatalkan Perjanjian-perjanjian Militer yang Menguntungkan Kepentingan Asing

Indonesia telah mengadakan perjanjian-perjanjian militer dan politik dengan Amerika Serikat dan negara-negara kolonialis lainnya. Konsekuensinya, kekuatan intelejen, militer dan kepolisian Indonesia, juga negara Muslim lain yang memilik perjanjian serupa, justru dimanfaatkan oleh Amerika Serikat untuk melemahkan dan menindas kekuatan umat yang berpotensi mengancam kepentingan AS. Karenanya, Islam melarang pakta atau kerjasama militer dan segala macam perjanjian dan kerjasama apa pun yang memberi peluang kepada orang-orang Kafir untuk menguasai umat Islam dan mengancam keamanan Daulah Khilafah. Allah SWT telah menyatakan dalam Al Quran:



الذين يتربصون بكم فإن كان لكم فتح من الله قالوا ألم نكن معكم وإن كان للكافرين نصيب قالوا ألم نستحوذ عليكم ونمنعكم من المؤمنين فالله يحكم بينكم يوم القيامة ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا 


(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.(Qs. an-Nisaa [4]:141)

***


Diplomat Negara Asing Tidak Boleh Bertemu dengan Pejabat Khilafah

Dalam sistem yang berlaku di Indonesia sekarang ini, terjadi campur tangan yang sangat luas dan sangat mendalam dari negara-negara kolonialis, terutama Amerika Serikat dan Inggris terhadap urusan dalam negeri Indonesia. Hal ini terjadi karena para duta besar dari negara-negara kolonialis berikut staf-staf mereka bisa bebas bertemu langsung dengan siapapun dari pejabat tinggi negara. Mereka bebas bertemu dengan Ketua KPU, Panglima Angkatan Bersenjata, Ketua MPR atau DPR, para ketua partai, bahkan juga bebas bertemu dengan para pimpinan organisasi dan kelompok Islam. Kebebasan seperti ini tentu dengan mudah disalah gunakan untuk memperlancar misi rahasia mereka di negeri ini.  
Dalam Daulah Khilafah, tanggung jawab negara adalah mengurusi kepentingan umat. Peran umat dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri sesungguhnya terbatas pada upaya meminta pertanggungjawaban Khalifah, yakni seberapa jauh Khalifah telah melaksanakan tugas-tugasnya. Maka, para diplomat asing berikut staf mereka tidak diizinkan menemui para politisi dan para pimpinan partai politik. Hanya pejabat dari departemen luar negeri Khilafah saja yang diizinkan melakukan kontak-kontak dengan para diplomat asing dan para stafnya itu. Dengan cara inilah Khilafah bisa membendung upaya negara-negara kafir untuk mengintervensi urusan dalam negeri dan menutup peluang untuk mendapatkan agen bagi kepentingan mereka yang berasal dari dalam lingkaran kekuasaan serta menciptakan suasana kacau di dalam negeri. 
***


Khilafah Tidak Akan Meminta Bantuan AS, Inggris, ataupun Negara-negara Kolonialis Lainnya untuk Menyelesaikan Masalah Umat Islam

Saat ini sudah menjadi kebiasaan penguasa di negeri-negari Muslim, termasuk Indonesia, kerap meminta bantuan negara-negara imperialis seperti AS dan negera Barat lain untuk menyelesaikan persoalan di negara itu, sebagaimana dalam kasus Timor Timur, Aceh, Papua, Kashmir, dan Palestina. Padahal, negara-negara kolonialis tersebut nyata-nyata memusuhi umat Islam dan terus berusaha untuk menguasai negeri-negeri Muslim. Selain itu, hampir seluruh persoalan yang mendera negeri-negeri Islam saat ini sesungguhnya adalah persoalan yang sengaja diciptakan oleh negera-negara kolonialis. Para penguasa itu meminta bantuan negara-negara kolonialis sesungguhnya juga demi untuk terus memelihara dukungan negara itu untuk kekuasaannya, karena mereka paham tanpa dukungan negara-negara itu kekuasaan mereka akan mudah roboh.

Karena itu, Khilafah tidak akan pernah meminta bantuan kepada negara-negara kolonialis yang memusuhi dan memerangi umat Islam untuk menyelesaikan persoalan umat Islam. Allah SWT. berfirman:



ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت وقد أمروا أن يكفروا به ويريد الشيطان أن يضلهم ضلالا بعيدا


Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (Qs. an-Nisaa [4]: 60)
 
Rasulullah saw. juga bersabda:
لَا تَسْتَضِيئُوا بِنَارِ الْمُشْرِكِينَ

Janganlah kalian mencari penerangan dengan api kaum Musyrik. (Hr. an-Nasa'i) 
***


Khilafah Tidak akan Berpartisipasi dalam Lembaga-lembaga yang Menjadi Alat Penjajahan Seperti PBB, Bank Dunia dan IMF

Telah nyata bahwa PBB dan organisasi-organisasi internasional lain seperti Bank Dunia dan IMF adalah alat yang digunakan negara-negara kolonialis untuk melancarkan kepentingan hegemoni mereka di bidang politik maupun ekonomi. Negara Barat mendorong lepasnya Timor Timur dari Indonesia melalui mandat PBB, sementara resolusi-resolusi PBB yang mengutuk serangan India ke Kashmir atau serangan Israel ke Palestina tidak pernah sungguh-sungguh diperhatikan. Semua resolusi itu tak lebih sekadar lips-service yang tak berguna. Negara-negara Barat menginjak-injak Piagam PBB ketika menyerang Afghanistan dan Irak, sebagaimana yang selalu dilakukan Israel. Atas semua tindakan itu, PBB diam seribu basa, tak berkutik. Meski begitu, masih saja para penguasa negeri-negeri Muslim percaya kepada PBB dan menganggap piagam PBB lebih penting dan lebih mulia daripada wahyu Allah SWT. 
Adapun lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, selalu digunakan negara-negara kolonialis untuk mengokohkan cengkraman ekonomi Barat atas negeri-negeri Muslim. Dengan mengikat leher negeri-negeri Muslim ke lembaga-lembaga keuangan tersebut, Barat dapat dengan mudah mengintervensi dan mempertahankan dominasinya atas negeri-negeri Muslim. Allah SWT. mengharamkan ketundukan umat Islam dalam lembaga dan organisasi penjajah ini:

ÙˆÙŽÙ„

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Qs. an-Nisaa[4]: 141) 

الذين يتربصون بكم فإن كان لكم فتح من الله قالوا ألم نكن معكم وإن كان للكافرين نصيب قالوا ألم نستحوذ عليكم ونمنعكم من المؤمنين فالله يحكم بينكم يوم القيامة ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا 


(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.(Qs. an-Nisaa [4]:141)

Di samping itu, isi piagam dan undang-undang yang menjadi landasan berdirinya lembaga-lembaga tersebut sepenuhnya bertentangan dengan syariah Islam. Karena itu, haram bagi Khilafah untuk berpartisipasi dalam lembaga dan organisasi seperti itu. Sebaliknya, Khilafah akan melancarkan kampanye yang kuat untuk mengungkap wajah asli dari lembaga dan organisasi tersebut dan mengakhiri hegemoninya agar dunia bisa diselamatkan dari kejahatan mereka.
 
***


Syariah Islam Menentukan Kepentingan-kepentingan Daulah Khilafah

Politik luar negeri Daulah Khilafah semata berdasarkan kepada syariah Islam. Sedangkan pelaksanaan syariah Islam dengan sebaik-baiknya merupakan kepentingan umat Islam. Karena itu, kalau ada kebijakan luar negeri yang tidak berlandaskan Islam, maka tentu saja kebijakan tersebut tidak termasuk kepentingan umat Islam. Daulah Khilafah tidak akan mengadopsi konsep “kepentingan nasional” yang akhirnya bermuara pada penyerahan kepentingan umat Islam ke tangan orang-orang Kafir, dengan jalan menyediakan pangkalan militer, dukungan logistik, dan jaringan intelejen yang ada kepada mereka. Khilafah akan mendayagunakan seluruh sumberdaya umat Islam yang ada untuk memenuhi tuntutan syariah, yaitu mewujudkan kepemimpinan Islam di seluruh dunia. 
***


Saat Ini Umat Membutuhkan Politik Luar Negeri yang Berlandaskan Islam

Saat ini urusan masyarakat internasional didominasi oleh kekuatan-kekuatan kolonialis, yaitu negara-negara Kapitalis yang terus-menerus memperkuat cengkeramannya dan menciptakan konflik di berbagai belahan dunia. Negara-negara kolonialis memicu terjadinya peperangan demi kepentingan eksploitasi sumberdaya dunia dan memperbudak bangsa-bangsa di dunia. Adapun, kebijakan luar negeri Daulah Khilafah tidak berorientasi pada kepentingan materi, tetapi kepentingan dakwah, yakni misi untuk mengeluarkan seluruh umat manusia dari gelapnya kekufuran menuju terangnya cahaya Islam. Allah SWT. Berfirman:

وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين

Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Qs. al-Anbiya [21]: 107)

Minggu, 24 Juni 2012

Membandingkan Negara Islam Dan Negara Sekular


Oleh ust. Rokhmat S. Labib
Negara demokrasi-sekular sering didengungkan sebagai negara ideal. Pasalnya, yang menjadi bandingannya adalah negara yang cenderung otoriter bahkan totaliter. Dihadapkan dengan pilihan-pilahan tersebut, tidak aneh jika negara demokrasi menjadi alternatif.
Umat Islam tidak jarang juga terjebak dengan alternatif-alternatif tersebut; seolah sistem pemerintahan hanya itu. Padahal masih ada sistem pemerintahan lain, yang tidak masuk dalam katagorisasi semua sistem pemerintahan tersebut. Sistem pemerintah itu adalah sistem Khilafah. Sistem Khilafah bertolak belakang dengan demokrasi, namun juga bertentangan dengan sistem monarki, teokrasi, atau aristokrasi; bahkan dengan semua sistem pemerintahan yang pernah ada di dunia.
Agar tidak dianggap sebagai klaim tanpa dasar, tulisan berikut akan mengungkap perbedaan sejumlah konsepsi seputar sistem pemerintahan demokrasi sekular dengan sistem pemerintahan Khilafah.
Konsep Kedaulatan
Masalah krusial dalam setiap sistem pemerintahan adalah menyangkut konsep kedaulatan (sovereignty/as-siyâdah).Kedaulatan adalah kewenangan untuk menangani dan menjalankan suatu kehendak tertentu. Dengan ungkapan lain, kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dan mutlak; satu-satunya yang memiliki hak untuk mengeluarkan hukum.[i] Karena itu, konsep kedaulatan akan menentukan corak masyarakat, arah kebijakan negara, dan semua subsistem yang menjadi turunannya—seperti sistem hukum, peradilan, ekonomi, dan sebagainya.
Dalam negara demokrasi-sekular, kedaulatan berada di tangan rakyat. Konsekuensinya, rakyatlah yang memiliki hak menentukan perjalanan hidup masyarakat. Rakyat pula yang menentukan sistem, hukum, dan kosntitusi yang cocok bagi mereka. Sebagaimana rakyat berhak membuat dan menetapan sebuah undang-undang, rakyat juga berhak membatalkan, mengganti, atau mengubah undang-undang tersebut.
Karena rakyat merupakan sekumpulan orang, sementara keinginan dan kehendak mereka bisa berseberangan satu sama lainnya, maka yang dijadikan sebagai kata pemutus adalah kehendak mayoritas. Ide, aspirasi, atau kebijakan apa pun yang mendapatkan dukungan suara terbanyak harus diterima sebagai keputusan terakhir yang ditaati oleh semua pihak; tidak peduli apakah keputusan tersebut benar atau salah, sejalan atau bertabrakan dengan hukum Allah Swt.
Berkaitan dengan suara mayoritas ini, Henry B. Mayo menyatakan bahwa sistem politik yang demokratis adalah sebuah sistem yang kebijaksanaan umumnya ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat.[ii] Lyman Tower Sargent juga menegaskan bahwa kunci yang harus dipenuhi oleh negara demokrasi adalah sistem hukum yang ditentukan oleh mayoritas.[iii]
Konsepsi tentang kedaulatan ini jelas kontradiktif dengan sistem Khilafah. Sistem Khilafah menjadikan kedaulatan ada di tangan Allah (syariat). Hal ini didasarkan pada syariat Islam yang hanya mengakui Allah Swt. satu-satunya Pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-Hâkim) dan syariat (al-Musyarri‘) baik dalam semua perkara ibadah. Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt.
Konsep kedaulatan di tangan syariat disimpulkan dari banyak dalil. Di antaranya: dalil-dalil yang mewajibkan kaum Muslim untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara mutlak (QS an-Nisa’ [4]: 59, 65, 105, 115; al-Baqarah [2]: 20); mengembalikan semua persoalan hukum pada syariat (QS asy-Syura [42]: 10; an-Nisa’ [4]: 59); mengecam semua hukum selain hukum Allah dengan sebutan hukumthâghût dan hukum Jahiliah (QS an-Nisa’ [4]: 60; al-Maidah [5]: 50); menyebut orang-orang yang berhukum pada selain hukum Allah sebagai kafir, zalim, dan fasik (QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47).
Kaidah ushul Lâ hâkima siwa Allâh, wa lâ hukma illâ ma hâkama bih(Tidak ada Pembuat hukum selain Allah dan tidak ada hukum selain yang Dia tetapkan) adalah kaidah yang tidak dipertentangkan oleh umat Islam.[iv] Allah Swt. berfirman:
]إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ[
Menetapkan hukum hanya hak Allah. (QS Yusuf [12]: 40).
Berdasarkan prinsip tersebut maka semua perundang-undangan di negara Khilafah harus bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah serta Ijma Sahabat dan Qiyas. Suara mayoritas—yang dalam negara sekular-demokrasi memegang peranan menentukan—dalam sistem Khilafah digunakan dalam medan yang amat terbatas, yakni hanya dalam melaksanakan suatu amal yang dibenarkan oleh syariat dan tidak membutuhkan keahlian khusus. Sebaliknya, penetapan hukum dan perundangan sama sekali tidak memperhatikan suara terbanyak. Seandainya seluruh rakyat berkumpul dan secara aklamasi menyetujui digalakkannya riba, atau bersepakat melegalisasi lokalisasi perzinaan dengan dalih agar perzinaan tidak menyebar luas di tengah masyarakat, maka semua kesepakatan itu tidak ada nilainya sama sekali di hadapan syariat.
Konsep Kekuasaan
Kekuasaan dalam sistem pemerintahan demokrasi-sekular terbagi menjadi tiga institusi yang memiliki kewenangan berbeda-beda, yakni: kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat undang-undang); kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk menjalankan undang-undang); dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang). Konsep pembagian kekuasaan ini dikenal dengan trias politica. Pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan oleh seseorang atau lembaga tertentu sehingga kedaulatan rakyat dapat terjaga.
Dalam sistem Khilafah kekuasaan ada di tangan umat. Seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan melalui baiat.[v] Kesimpulan ini didasarkan pada hadis-hadis tentang baiat yang semuanya menunjukkan bahwa baiat itu diberikan oleh kaum Muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum Muslim. Ini menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Artinya, umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi khalifah.
Selanjutnya, dengan akad baiat, kekuasaan yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan wakil umat untuk menjalankan hukum syariat Islam (kedaulatan Allah) dalam kehidupan bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana dalam sistem demokrasi-sekular.
Meskipun syariat telah menetapkan bahwa kekuasaan di tangan umat, dalam memilih khalifah umat tetap harus mematuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan syariat; semisal harus berakal, balig, Muslim, laki-laki, adil, merdeka, dan berkemampuan. Lagi pula, sekalipun syariat memberikan hak bagi umat memilih dan mengangkat khalifah, umat tidak berhak memberhentikannya selama akad baiat kepadanya dilaksanakan secara sempurna berdasarkan ketentuan syariat.
Ketentuan ini didasarkan beberapa hadis sahih yang mewajibkan ketaatan kepada khalifah selama ia tidak memerintahkan kemaksiatan dan tidak jelas-jalas kafir. Ibn Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda bersabda:
»مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئَا فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ اْلجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوْتُ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً«
Siapa saja yang melihat sesuatu dari amirnya dan ia membencinya, hendaknya bersabar. Sebab, tidak seorang pun yang meninggalkan jamaah sejengkal saja kemudian mati, kecuali mati dalam keadaan Jahiliah. (HR al-Bukhari).
Kendati demikian, bukan berarti khalifah tidak dapat diberhentikan apa pun keadaannya. Syariat telah menjelaskan keadaan-keadaan tertentu yang memungkinkan khalifah dinyatakan berhenti secara otomatis seperti ketika murtad, gila total, atau ditawan musuh yang tidak mungkin bisa melepaskan diri. Dijelaskan pula keadaan-keadaan tertentu yang memungkinkan khalifah harus diberhentikan oleh mahkamah mazhâlim, seperti ketika ia tidak dapat melaksanakan tugasnya karena suatu sebab, atau kehilangan‘adalah-nya, yaitu telah melakukan kefasikan secara terang-terangan.
Bentuk Negara
Bentuk negara demokrasi-sekular dapat beraneka ragam; dapat berbentuk kesatuan, seperti Inggris dan Prancis, atau federasi seperti Amerika Serikat dan Malaysia. Dalam negara federasi terdapat negara-negara bagian yang memiliki otonomi sendiri dan bersatu dalam pemerintahan secara umum, semisal dalam hal perjanjian internasional, moneter, pertahanan dan keamanan, dan lain-lain.
Ini berbeda dengan Khilafah yang harus berbentuk kesatuan. Islam tidak membenarkan adanya negara-negara bagian yang memiliki kedaulatan sendiri dalam bidang-bidang tertentu. Sistem pemerintahan Khilafah harus bersifat sentralisasi dengan penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah kecil maupun besar. Ketentuan ini didasarkan beberapa hadis Nabi saw. Di antaranya hadis dari Arfajah bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ»
Siapa saja yang datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang (Khalifah), kemudian dia hendak memecah-belah kesatuan jamaah kalian, maka bunuhlah. (HR Muslim).
Hadis di atas menjelaskan larangan membelah persatuan kaum Muslim dan membagi-bagi kesatuan negaranya, serta mendorong kepada kaum Muslim agar tidak mentoleransi setiap upaya pembagian negara, termasuk upaya melepaskan diri darinya.
Kesatuan negara Khilafah juga mewujud dalam hal keuangan dan anggaran. Keuangan seluruh wilayah negara Islam dianggap satu, termasuk anggaran belanjanya. Anggaran belanja setiap wilayah akan diberikan sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan atas besar-kecilnya pendapatan yang dihasilkannya. Perlu diingat, meskipun dalam soal pemerintahan harus sentralisasi, namun sistem administrasinya dapat dilakukan desentralisasi.
Bentuk Pemerintahan
Sistem pemerintahan negara demokrasi-sekular dapat berbentuk republik dengan kepala negara seorang presiden seperti AS atau monarki dengan kepala negara seorang raja seperti Inggris atau kaisar seperti di Jepang.
Ini juga berbeda dengan bentuk pemerintahan Islam yang hanya mengenal satu bentuk, yakni Khilafah. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Sebutan lain dari Khilafah adalah Imamah.
Dalam pemerintahan monarki, kedudukan raja diperoleh melalui jalan pewarisan. Artinya, seseorang dapat menduduki jabatan raja hanya karena kebetulan menjadi anak keturunan raja. Mekanisme kekuasaan itu bertentangan dengan sistem Khilafah. Kedudukan khalifah hanya didapatkan dengan satu jalan, yakni dengan baiat dari umat secara ridha dan diliputi kebebasan memilih, tanpa ada tekanan atau paksaan.
Jika dalam sistem monarki raja memiliki hak-hak istimewa yang dikhususkan untuk raja dan tidak bisa dimiliki selain raja, bahkan dalam beberapa negara kedudukan raja di atas undang-undang, tidak demikian dengan khalifah. Sistem Khilafah tidak memberikan hak-hak istimewa bagi khalifah, kecuali sama dengan rakyatnya. Khalifah adalah wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan yang mereka baiat buat menerapkan syariat Allah atas diri mereka. Artinya, khalifah juga tetap harus tunduk dan terikat dengan hukum syariat dalam semua tindakan, kebijakan, dan pelayanan terhadap kepentingan umat.
Sistem Khilafah juga berbeda dengan republik. Dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili suara rakyat (misal: parlemen). Rakyat beserta wakilnya berhak memberhentikan presiden. Sebaliknya, seorang khalifah, sekalipun bertanggung jawab di hadapan umat dan wakil-wakil mereka, mereka tidak berhak memberhentikannya. Khalifah hanya dapat diberhentikan jika ia menyimpang dari hukum syariat yang menyebabkannya harus diberhentikan. Ada pun yang menentukan pemberhentiannya adalah mahkamah mazhâlim.
Jabatan pemerintahan (presiden atau perdana menetri) dalam sistem republik, baik yang menganut presidensial maupun parlementer, selalu dibatasi dengan masa periode tertentu yang tidak boleh melebihi dari masa jabatan tersebut. Sebaliknya, dalam sistem Khilafah tidak terdapat masa jabatan tertentu. Batasannya hanyalah apakah ia masih menerapkan hukum syariat ataukah tidak. Selama ia masih melaksanakan hukum syariat yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta mampu menjalankan urusan-urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka dia tetap sah menjadi khalifah, sekalipun masa jabatannya amat panjang. Demikian pula sebaliknya. Ketetapan ini didasarkan pada nash baiat yang ada dalam hadis-hadis, yang semuanya bersifat mutlak, tidak ada batasan masa jabatan tertentu. Di antaranya adalah riwayat Anas bin Malik yang menyatakan bahw Nabi saw. pernah bersabda:
«اِسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا وَإِنْ اُسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبْشِيٌ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةً»
Dengar dan taatilah, sekalipun yang memimpin kalian budak yang hitam legam, bahkan kepalanya seperti (keluar) bisul-bisulnya. (HR al-Bukhari).
Dalam riwayat Muslim dari jalur Ummu al-Husain ada ungkapan:
» يَقُوْدُكُمْ بِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى«
….selama dia masih memimpin kalian dengan Kitabullah. (HR Muslim).
Di samping itu, Khulafaur Rasyidin masing-masing telah dibaiat sebagaimana baiat yang terdapat dalam banyak hadis. Mereka tidak ada yang dibatasi dengan masa jabatan tertentu. Mereka masing-masing memimpin Khilafah sejak dibaiat hingga meninggal. Hal ini menjadi Ijma Sahabat, bahwa jabatan khalifah tidak mengenal masa jabatan tertentu.
Namun demikian, bukan berarti seorang khalifah pasti terus menjabatnya hingga dia meninggal. Sebab, ada ketetapan syariat berkenaan beberapa keadaan khalifah yang menjadikannya dinyatakan berhenti secara otomatis dari jabatannya, atau harus diberhentikan oleh mahkamah madzalim.
Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam negara demokrasi-sekular bersifat kolektif. Sistem pemerintahannya, baik parlementer maupun presidensial, mengharuskan adanya kabinet yang di dalamnya terdapat menteri-menteri dengan spesialisasi departemen-departemen masing-masing dan wewenang tertentu. Kolektivitas kepemimpinan tampak lebih menonjol dalam sistem parlementer; roda pemerintahan dijalankan oleh kabinet yang dikepalai seorang perdana menteri. Kabinet secara kolektif itu bertanggung jawab terhadap parlemen. Jika parlemen menjatuhkan mosi tidak percaya, kabinet tersebut harus bubar.
Dalam Islam, kepemimpinan bersifat tunggal, tidak bersifat kolektif. Tunggalnya kepemimpinan tersebut didasarkan pada hadis-hadis Nabi saw. Di antaranya hadis berikut:
«إِذَا بُيِعَ لِخَالِفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخِرَ مِنْهُمَا»
Jika dibaiaat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR Muslim).
Prinsip tunggalnya kepemimpinan juga diterapkan dalam kepemimpinan negara. Di dalam sistem khilafah tidak ada menteri maupun kabinet yang menyertai khalifah sebagaimana dalam konsep demokrasi. Yang ada di dalam sistem khilafah hanyalah para mu‘âwin(pembantu khalifah). Tugas mereka adalah membantu khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan. Mereka adalah pembantu sekaligus pelaksana. Ketika memimpin mereka, peran khalifah bukan dalam kapasistasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga eksekutif, melainkan sebagai kepala negara. Dalam sistem khilafah tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu khalifah dengan wewenang tertentu.
Pilar Pemerintahan
Dalam negara demokrasi-sekular, kedaulatan ada di tangan rakyat yang terepresentasi di tangan wakil rakyat. Demikian juga dengan kekuasaan. Rakyat merupakan sumber kekuasaan. Akan tetapi, pada praktiknya keadaulatan dan kekuasaan itu tidak benar-benar berada di tangan rakyat, namun di tangan para kapitalis/pemilik modal raksasa, terutama di bidang industri dan media massa. Di Amerika, para kapitalis inilah yang sebenarnya secara real mengangkat dan memberhentikan orang-orang yang menempati lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Siapa saja yang berseberangan dengan para kapitalis akan tergusur dari kekuasaannya. Yang lebih tragis nasib negara-negara Dunia Ketiga. Kedaulatan rakyat di negara-negara tersebut justru telah terampas oleh dominasi negara-negara asing.
Secara praktis, kekuasaan itu dijalankan oleh tiga institusi: yakni legislatif (parlemen), eksekutif (presiden dan kabinetnya), dan yudikatif (lembaga peradilan). Di berbagai negara, yang biasanya dipilih langsung oleh rakyat adalah legislatif dan eksekutif (presiden). Adapun hukum dan undang-undangnya dibuat dan ditetapkan lembaga legislatif. Di beberapa negara, seperti Indonesia, sebuah undang-undang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif.
Pilar pemerintahan itu jelas sangat berbeda dengan sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah dibedakan antara kedaulatan dan kekuasaan. Kedaulatan ada di tangan syariat sehingga tidak boleh ada satu hukum atau undang-undang yang tidak bersumber dari Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya, sementara kekuasaan ada di tangan umat. Artinya, umatlah yang berhak memilih dan mengangkat orang yang dikehendaki untuk menduduki jabatan khalifah.
Mengenai hukum-hukum yang didasarkan dalil yang dzannî, sehingga dapat memunculkan beberapa penafsiran, sementara hukum tersebut diperlukan dalam pengaturan urusan rakyat, maka harus ada salah satu yang diadopsi (tabannî). Berdasarkan Ijma Sahabat, yang memiliki kewenangan untuk mengadopsi hukum syariat sebagai undang-undang hanya khalifah. Namun demikian, khalifah tidak boleh mengadopsi undang-undang yang bertentangan dengan syariat.
Peran Wakil Rakyat
Dalam negara sekular-demokrasi, wakil rakyat menjalankan kedaulatan rakyat. Lembaga perwakilan rakyat inilah yang menetapkan semua hukum dan peraturan dalam negara tersebut. Di beberapa negara, parlemen ini juga memiliki wewenang meminta pertanggungjawaban kepala negara dan memberhentikannya.
Itu sangat berbeda dengan wakil rakyat dalam sistem khilafah. Wakil rakyat yang terwadahi dalam majelis umat sama sekali tidak berfungsi sebagai lembaga legislatif. Dalam Islam, kekuasaan legislatif hanya milik Allah Swt. semata, bukan milik manusia. Kalau pun ada hak mengadopsi hukum-hukum yang berkaitan dengan pengaturan urusan rakyat dan pemerintahan, maka itu adalah bagi khalifah. Ini bukan berarti khalifah memegang kekuasaan legislatif. Sebab, khalifah tidak membuat hukum sendiri, namun hanya sekadar mengambil hukum-hukum syariat yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya berdasarkan kriteria dalil melalui proses ijtihad yang benar.
Dalam mengadopsi hukum syariat menjadi undang-undang, khalifah diperbolehkan mengajukannya kepada majelis umat untuk meminta pendapatnya mengenai masalah tersebut. Akan tetapi, pendapat majelis dalam masalah ini tidak mengikat. Tugas utama anggota majelis umat hanyalah mewakili aspirasi kaum Muslim agar menjadi pertimbangan khalifah dan tempat khalifah meminta masukan dalam urusan kaum Muslim. Mereka juga mewakili umat melakukanmuhâsabah (kontrol dan koreksi) terhadap pejabat pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas tampak jelas perbedaan sistem Khilafah dengan sistem pemerintahan demokrasi-sekular. Masihkah kita menganggap Islam sama dengan demokrasi? Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. []

1 Mahmud Abd al-Majid al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm. Beirut: Dar al-Buhuts al-Ilimiyah, 1980, hlm. 24
2 Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic. New York: Oxford University Press, 1960, hlm, 70.
3 Lyman Tower Sargent, Cotemporary Political Ideologis, hlm. 33
4 Al-Amidi, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, vol 1. Beirut: Dar al-Fikr, 1996, hlm. 60.
5 Berdasarkan nash-nash hadis, baiat merupakan satu-satunya metode yang ditentukan oleh syariat dalam pengangkatan khalifah.

Para Khalifah dari Masa ke Masa




Para Khalifah Masa Khulafâ ar-Râsyidîn
No
Khalifah
Th (H)
Th (M)
ΣTh
1
Abu Bakar ash-Shiddîq
11-13
632-634
2
2
Umar bin al-Khaththâb
13-23
634-644
10
3
‘Utsman bin Afân
23-35
644-656
12
4
‘Alî bin Abi Thâlib
35-40
656-661
5
5
Al-Hasan bin ‘Ali
40-41
661
1
Para Khalifah Masa Umayyah
No
Khalifah
Th (H)
Th (M)
ΣTh
1
Mu’awiyah bin Abi Sofyân
41-60
661-679
19
2
Yazîd bin bin Mu’awiyah
60-64
679-683
4
3
Mu’awiyah bin Yazîd
64
683
 
4
Marwân bin al-Hakam
64-65
683-684
1
5
‘Abdul Malik bin Marwân
65-86
684-705
21
6
Al-Walîd bin ‘Abdul Malik
86-96
705-714
10
7
Sulaiman bin ‘Abdul Malik
96-99
714-717
3
8
Umar bin ‘Abdul ‘Azîz
99-101
717-719
2
9
Yazîd bin ‘Abdul Malik
101-105
719-723
4
10
Hisyam bin ‘Abdul Malik
105-125
723-742
20
11
Al-Walîd bin Yazîd
125-126
742-743
1
12
Yazîd bin al-Walîd
126
743
 
13
Ibrahîm bin al-Walîd
126-127
743-744
1
14
Marwan bin Muhammad
127-132
744-749
5
Para Khalifah Masa Abbasiyah yang Berpusat di Irak
No
Khalifah
Th (H)
Th (M)
ΣTh
1
Abu al-‘Abbâs as-Saffâh
132-137
749-753
5
2
Abu Ja’far al-Manshûr
137-159
753-774
22
3
Al-Mahdi
159-169
774-785
10
4
Al-Hâdi
169-170
785-786
1
5
Hârûn al-Rasyîd
170-193
786-808
23
6
Al-Amîn
193-198
808-813
5
7
Al-Ma`mûn
198-218
813-833
20
8
Al-Mu’tashim Billah
218-227
833-841
9
9
Al-Wâtsiq Billah
227-232
841-846
5
10
Al-Mutawakkil ‘Alallah
232-247
846-861
15
11
Al-Muntashir Billah
247-248
861-862
1
12
Al-Musta’în Billah
248-252
862-866
4
13
Al-Mu’taz Billah
252-255
866-868
3
14
Al-Muhtadî Billah
255-256
868-869
1
15
Al-Mu’tamad ‘Alallah
256-279
869-892
23
16
Al-Mu’tadhid Billah
279-289
892-901
10
17
Al-Muktafî Billah
289-295
901-907
6
18
Al-Muqtadir Billah
295-320
907-932
25
19
Al-Qâhir Billah
320-322
932-933
2
20
Ar-Râdhî Billah
322-329
933-940
7
21
Al-Muttaqî Lillah
329-333
940-944
4
22
Al-Mustakfî Lillah
333-334
944-945
1
23
Al-Muthî’ Lillah
334-363
945-973
9
24
Ath-Thâi’ Lillah
363-381
973-991
18
25
Al-Qâdir Billah
381-422
991-1030
41
26
Al-Qâim Biamrillah
422-467
1030-1074
45
27
Al-Muqtadî Biamrillah
467-487
1074-1094
10
28
Al-Mustazhhir Billah
487-512
1094-1118
25
29
Al-Musytarsyid Billah
512-529
1118-1134
17
30
Ar-Râsyid Billah
529-530
1134-1135
1
31
Al-Muqtafî Liamrillah
530-555
1135-1160
25
32
Al-Mustanjid Billah
555-566
1160-1170
11
33
Al-Mustadhî Biamrillah
566-575
1170-1179
9
34
An-Nâshir Lidînillah
575-622
1179-1225
47
35
Azh-Zhâhir Biamrillah
622-623
1225-1226
1
36
Al-Mustanshir Billah
623-640
1226-1242
7
37
Al-Mu’tashim Billah
640-656
1242-1258
16
Para Khalifah Masa Abbasiyah yang Berpusat di Mesir
No
Khalifah
Th (H)
Th (M)
ΣTh
1
Al-Mustanshir Billah (II)
659-661
1260-1262
2
2
Al-Hâkim Biamrillah (I)
661-701
1262-1301
40
3
Al-Mustakfî Billah (I)
701-736
1301-1335
35
4
Al-Wâtsiq Billah (I)
736-742
1335-1341
6
5
Al-Hâkim Biamrillah (II)
742-753
1341-1352
11
6
Al-Mu’tadhid Billah (I)
753-763
1352-1361
10
7
Al-Mutawakkil ‘Alallah (I)
763-785
1361-1383
22
8
Al-Wâtsiq Billah (II)
785-788
1383-1386
3
9
Al-Mu’tashim
788-791
1386-1388
3
10
Al-Mutawakkil ‘Alallah (II)
791-808
1388-1405
17
11
Al-Musta’în Billah
808-815
1405-1412
7
12
Al-Mu’tadhid Billah (II)
815-845
1412-1441
30
13
Al-Mustakfî Billah (II)
845-854
1441-1450
9
14
Al-Qâim Biamrillah
854-859
1450-1454
5
15
Al-Mustanjid Billah
859-884
1454-1479
15
16
Al-Mutawakkil ‘Alallah (III)
884-893
1479-1487
9
17
Al-Mutamassik Billah
893-914
1487-1508
11
18
Al-Mutawakkil ‘Alallah (IV)
914-918
1508-1512
4

Para Khalifah Masa Utsmaniyah
No
Khalifah
Th (H)
Th (M)
ΣTh
1
Salîm al-Ula
918-926
1512-1520
8
2
Sulaiman Qânûnî
926-974
1520-1566
48
3
Salîm ats-Tsanî
974-982
1566-1574
8
4
Murâd ats-Tsâlits
982-1003
1574-1595
21
5
Muhammad ats-Tsâlits
1003-1012
1595-1603
9
6
Ahmad al-Ula
1012-1026
1603-1617
14
7
Mushthafa al-Ula
1026
1617
 
8
Utsman ats-Tsânî
1026-1031
1617-1621
5
9
Mushthafa al-Ula (ke dua kali)
1031-1032
1621-1622
1
10
Murâd ar-Râbi’
1032-1049
1622-1639
17
11
Ibrâhîm al-Ula
1049-1058
1639-1648
9
12
Muhammad ar-Râbi’
1058-1099
1648-1687
41
13
Sulaiman ats-Tsânî
1099-1102
1687-1691
3
14
Ahmad ats-Tsânî
1102-1106
1991-1994
4
15
Mushthafa ats-Tsânî
1106-1115
1694-1702
9
16
Ahmad ats-Tsâlits
1115-1143
1703-1730
28
17
Mahmûd al-Ula
1143-1168
1730-1754
25
18
Utsman ats-Tsâlits
1168-1171
1754-1757
3
19
Mushthafa ats-Tsâlits
1171-1187
1757-1773
16
20
‘Abdul Hamîd al-Ula
1187-1203
1773-1788
16
21
Salîm ats-Tsâlits
1203-1222
1789-1807
19
22
Mushthafa ar-Râbi’
1222-1223
1807-1808
1
23
Mahmûd ats-Tsânî
1223-1255
1808-1839
32
24
‘Abdul Majîd al-Ula
1255-1277
1839-1861
22
25
‘Abdul ‘Azîz al-Ula
1277-1293
1861-1876
16
26
Murâd al-Khâmis
1293
1876
 
27
‘Abdul Hamid ats-Tsânî
1293-1328
1876-1909
35
28
Muhammad Rasyad al-Khâmis
1328-1337
1909-1918
9
29
Muhammad Wahîduddin (II)
1337-1340
1918-1922
3
30
‘Abdul Majîd ats-Tsânî
1340-1342
1922-1924
2

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India